Sejak diumumkan sebagai pandemi global pada awal bulan Maret 2020 oleh ketua World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, tidak menunggu waktu yang lama Indonesia melaporkan adanya kasus positif virus SARS-CoVid 02 atau yang dikenal dengan nama Virus Corona atau COVID-19. Penyebaran virus COVID-19 terhitung sangat cepat karena penularannya dapat dilakukan hanya dengan melalui kontak fisik. Virus ini telah menginfeksi hampir 1,5 juta orang di dunia menurut data WHO per 9 April 2020 dengan tingkat kematian berjumlah 88.230 orang dan yang berhasil sembuh berjumlah 330.934 orang. Di Indonesia sendiri hingga tanggal 9 April 2020 melaporkan kasus positif sebanyak 3293 orang, kematian berjumlah 280 orang, dan orang yang sembuh berjumlah 252 orang. Dengan melihat dampak kerusakan yang dihasilkan oleh virus COVID-19 memaksa pemerintah Indonesia harus mengambil langkah dan kebijakan yang ekstrim di tengah keadaan darurat ini.
Cina, dimana kota Wuhan merupakan kota pertama munculnya virus COVID-19, yang pada pertengahan bulan Januari melaporkan tingkat infeksi warganya yang meningkat secara drastis dengan seketika pada akhir Januari Pemerintah Cina mengambil kebijakan lockdown. Lockdown merupakan kebijakan dimana warga negara ‘dirumahkan’ dengan paksa maupun melalui himbauan dan pemerintah menetapkan larangan keluar rumah, larangan berkumpul di tempat publik, maupun, dalam tahap yang paling ekstrim, mengisolasi diri dari dunia luar sehingga orang-orang tidak dapat bermobilisasi untuk masuk dan keluar dari tempat tersebut. Melihat peningkatan jumlah korban positif dan prevalensi tingkat kematian yang tinggi di Indonesia, pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dituangkn dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 untuk mencegah penyebaran virus COVID-19.
Dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia membuat dunia usaha dan perekonomian mendapatkan imbas yang besar. Dalam dunia hukum sendiri, munculnya wabah COVID-19 dan ditetapkannya situasi gawat darurat nasional non-wabah telah menimbulkan persoalan mengenai pemenuhan prestasi suatu perjanjian atau perikatan di tengah wabah. Dunia usaha yang lesu dan adanya pembatasan pergerakan membuat keadaan menjadi tidak memungkinkan untuk pemenuhan prestasi. Keadaan kahar atau force majeur ini selalu dimasukkan dalam klausul perjanjian agar suatu kewajiban tidak dilanggar atau salah satu pihak tidak digugat atas wanprestasi.
Definisi Force Majeur
Istilah Force Majeure atau Overmacht telah menjadi istilah yang umum dalam hukum perdata. Secara singkat Force Majeure merupakan suatu kondisi memaksa atau suatu peristiwa di luar kuasa manusia yang mengakibatkan tidak dapat dilakukannya suatu prestasi. Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk.[1] Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa force majeure atau vis major dapat diterima sebagai suatu alasan untuk tidak memenuhi pelaksanaan kewajiban karena hilangnya/lenyapnya objek atau tujuan yang menjadi pokok perjanjian. Keadaan ini ditujukan terhadap pelaksanaan secara fisik dan hukum, bukan dikarenakan hanya kesulitan dalam melaksanakan kewajiban.[2] Keadaan memaksa yang membuat tidak dapat dilakukannya prestasi terbagi atas dua, yaitu keadaan memaksa yang absolut (absolut onmogelijkheid) dan keadaan memaksa yang relatif (relatieve onmogelijkheid).
Keadaan memaksa yang absolut dapat diartikan sebagai keadaan dimana debitur sama sekali tidak memiliki kuasa untuk dapat melakukan prestasi karena adanya kekuatan di luar diri si debitur yang membuatnya demikian, seperti, gempa bumi, banjir, badai, dan berbagai bencana alam yang terjadi. Perlu juga diberi catatan bahwa bencana alam yang disebutkan tadi terjadi bukan karena kelalaian yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Sedangkan kedaan memaksa yang relatif, si debitur masih memungkinkan untuk melakukan prestasi, namun pelaksanaan prestasi tersebut memberikan kerugian yang sangat besar dan pelaksanaannya menggunakan menggunakan kemampuan yang berada di luar kemampuan manusia sehingga potensi bahaya yang akan dihasilkan sangat besar. Menurut Abdulkadir Muhammad, Sifat mutlak dan relatif overmacht menunjukkan pembedaan antara mutlak yang dikaitkan dengan pembatalan atau batal terhadap suatu kewajiban debitur, dengan relatif yang dairtikan dengan gugur. Pembatalan atau batal dikaitkan dengan musnahnya objek perjanjian, sedangkan relatif menunjukkan suatu prestasi dapat dilakukan oleh debitur tetapi tidak memiliki nilai dalam pandangan kreditur.[3] Lebih lanjut, Abdulkadir Muhammad mencoba untuk merinci sifat mutlak dan relatif nya overmacht sebagai berikut:[4]
Force Majeure atau Overmacht sendiri diatur di Indonesia melalui Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1244:
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
Pasal 1245:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”
Melihat kedua rumusan pasal di atas, maka dapat dijabarkan unsur-unsurnya dengan rincian sebagai berikut:
Bagaimana kah kedudukan prestasi maupun perjanjian yang tidak dapat dijalankan oleh debitur ketika terjadi keadaan force majeure? Apabila melihat pada Pasal 1381 yang menyatakan bahwa hapusnya perikatan adalah sebagai berikut:
Pada syarat nomor 7 merupakan syarat yang paling sering terjadi ketika terjadi force majeure atau dengan kata lain musnahnya objek perjanjian. Dengan melihat pada Pasal 1320 KUHPER yang salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya suatu objek yang diperjanjikan, apabila objek perjanjian musnah maka perjanjian tersebut atau perikatan tersebut gugur demi hukum sehingga keadaan akan dikembalikan seperti semula sebelum perjanjian atau prestasi tersebut ada.
Wabah COVID-19 Sebagai Faktor Force Majeure
Melihat keadaan wabah COVID-19 yang melanda Indonesia bahkan dunia sejak awal Februari lalu telah membuat pemerintah maupun badan usaha mengambil langkah untuk membatasi interaksi sosial di ruang publik secara massal dengan memberlakukan Work From Home (WFH) atau kerja di rumah. Penerapan kebijakan lockdown, pembatasan jam operasional bagi usaha-usaha kecil, menengah dan besar, himbauan untuk tetap berada di rumah, penetapan sanksi bagi pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan kebijakan lainnya yang diambil sebagai langkah pencegahan wabah COVID-19. Pembatasan-pembatasan tersebut membuat warga negara menjadi terhambat melakukan aktivitasnya. Tanpa terkecuali pemenuhan kewajiban suatu prestasi atau perjanjian pun menjadi terhambat.
Rumusan pasal force majeure dalam suatu perjanjian kurang lebih berbunyi sebagai berikut:
“Force Majeure (Peristiwa/Keadaan Kahar) adalah peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan atau kemampuan para pihak, termasuk akan tetapi tidak terbatas pada kecelakaan, huru-hara, epidemi, kebakaran, banjir, bencana alam, ledakan, pemogokan, perang, perubahan peraturan perundang-undangan, perubahan keputusan Pemerintah, tindakan atau ketetapan pemerintah atau pihak yang berwenang, termasuk berbedanya izin yang dimohon dengan yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang, jatuhnya kapal terbang, dan peristiwa lain di luar kekuasaan Pihak Pertama dan / atau Pihak Kedua yang menyebabkan Pihak Pertama dan / atau Pihak Kedua tidak dapat memenuhi atau melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Perjanjian ini, termasuk peristiwa-peristiwa yang walaupun masih dalam kemampuan Pihak Pertama dan / atau Pihak Kedua untuk mencegahnya, namun akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi Pihak Pertama dan / atau Pihak Kedua. Keadaan Kahar tidak berlaku bagi kewajiban pembayaran berdasarkan Perjanjian ini;”
Force majeure lazimnya disebutkan satu persatu peristiwa yang dapat menyebabkan tidak dipenuhinya prestasi. Salah satu unsur force majeure yang akan difokuskan adalah bencana alam yang mana paling mendekati dengan situasi COVID-19.
COVID-19 digolongkan ke dalam bencana nasional non-alam. Bencana non-alam menurut Pasal 1 nomor 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Penyebaran COVID-19 yang masif dalam waktu beberapa minggu dapat menginfeksi ratusan bahkan ribuan orang telah membuat COVID-19 sebagai wabah penyakit menular. Untuk melakukan tindakan pencegahan, pemerintah memberlakukan karantina wilayah yang dikenal dengan nama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menurut Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pelaksanaan PSBB sedikitnya meliputi:
Apabila melihat pelaksanaan PSBB selama pandemi COVID-19 di atas, beberapa tempat kerja harus meliburkan para pekerja atau memberlakukan WFH agar operasional usaha tetap berjalan. Namun di beberapa wilayah Indonesia saat ini bahkan mengenakan sanksi bagi orang maupun badan hukum yang melanggar ketentuan PSBB. Sebut saja provinsi DKI Jakarta yang mengesahkan Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang dalam Pasal 27 memuat ketentuan sanksi pidana yang merujuk pada Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan memberikan sanksi pidana bagi pelanggar PSBB dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah).
Dengan kata lain, apabila melihat contoh rumusan klausul force majeure di atas maka dapat disimpulkan bahwa wabah COVID-19 sebagai peristiwa force majeure yang tidak memungkinkan bagi debitur untuk melakukan prestasi.
Penutup
Dari pemaparan di atas, pandemi COVID-19 sebagai wabah penyakit menular dan ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam singkatnya dapat dikategorikan sebagai force majeure. Wabah COVID-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure yang relatif dalam arti para pihak yang terlibat dalam perjanjian atau prestasi masih dapat melakukan prestasi namun pemenuhan prestasi semasa wabah COVID-19 hanya akan menimbulkan kerugian dan resiko yang besar bagi kedua belah pihak. Perlu diketahui bahwa wabah COVID-19 tidak berlangsung secara permanen. Artinya, apabila para pihak bersepakat maka dapat melakukan penangguhan pemenuhan prestasi suatu perjanjian ketimbang membuat perjanjian atau prestasi menjadi gugur demi hukum.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1986 tentang Waba Penyakit Menular
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Daftar Pustaka
Isradjuningtias, Agri Chairunisa. 2015. Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia. Jurnal Veritas et Justitia. Vol. 1/No. 1. 145-150.
Disusun oleh:
Bob Horo, S.H., M.H., C.L.A.
Kelvin Yanto, S.H.
[1] Agri Chairunisa Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia”, Jurnal Veritas et Justitia, Vol. 1/No. 1, (2015), hlm 145
[2] Pendapat Mochtar Kusumaatmadja dikutip dalam Ibid, hlm 140
[3] Pendapat Abdulkadir Muhammad dalam Ibid, hlm 149
[4] Ibid, hlm 150