Disusun oleh:
Bob Horo, S.H., M.H., C.L.A.
Kelvin Yanto, S.H.
Masih dengan kondisi yang sama di tengah pandemi COVID-19, Pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan perundang-undangan hingga menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah yang terkena dampak paling besar dari wabah pandemi COVID-19. Selama periode ini juga berbagai istilah untuk melaksanakan PSBB dikenal seperti social distancing atau physical distancing, work from home (WFH), dan pembatasan mobilisasi bagi warga negara untuk menekan lajur persebaran virus. Hal ini dilakukan mengingat virus COVID-19 yang memiliki tingkat penyebaran yang sangat cepat dan masif hanya melalui kontak fisik dengan manusia maupun benda yang disentuh oleh carrier virus atau pembawa virus tanpa disadari.
Social Distancing merupakan suatu pen-jarak-kan antara satu orang dengan orang lainnya dengan jarak minimal sejauh 1 meter atau lebih atau dengan kata lain merupakan upaya untuk membatasi diri melakukan kontak fisik dengan orang lain. Kerumunan di tempat umum dilarang selama masa PSBB maupun jumlah orang yang berkumpul dibatasi maksimal 5 orang. Pada taraf yang lebih jauh, hampir seluruh tempat umum dan fasilitas umum ditutup untuk sementara, kecuali tempat umum dan fasilitas umum yang esential seperti transportasi umum dan pelayanan kesehatan. Implementasi social distancing juga mempengaruhi sektor swasta yang mana usaha-usaha seperti restauran atau tempat makan yang selama masa PSBB hanya boleh melayani pesan antar makanan dan pengunjung yang makan di tempat dibatasi jumlahnya.
Namun, implementasi social distancing tidak efektif diterapkan di tempat-tempat tertentu. Tempat seperti perkampungan padat, lapas maupun penjara, dan industri manufaktur yang esensial, social distancing hampir mustahil untuk diterapkan. Mulai dari luas ruangan, kondisi ekonomi, dan permasalahan sosial lainnya menjadi penyebab masyarakat yang mendiami tempat-tempat yang disebutkan tadi tidak memiliki ruang untuk menjaga jarak satu sama lain. Tulisan ini hanya akan berfokus pada tempat lapas atau penjara. Melihat kondisi lapas maupun penjara di Indonesia yang overcrowded menjadi pembahasan di tingkat Kementrian Hukum dan HAM untuk mengambil kebijakan memberikan pembebasan kepada para napi agar penyebaran virus COVID-19 tidak sampai ke lapas.
Dasar Hukum Pembebasan Napi
Seorang terdakwa berubah statusnya menjadi terpidana ketika suatu putusan pengadilan telah in kracht dan tidak ada lagi upaya hukum yang diajukan atas putusan pemidanaan. Pidana yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia menurut Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berupa:
Namun pada umumnya, hampir seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mencantumkan ketentuan pidana lebih mengutamakan penggunaan pidana penjara ketimbang pidana mati karena pidana mati hanya digunakan untuk kasus-kasus tertentu seperti pengedaran narkoba, terorisme, pembunuhan berencana, dan tindak pidana korupsi pada masa darurat.
Narapidana yang mendiami lembaga pemasyarakatan (Lapas) disebut juga sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 1 Nomor 5 Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Narapidana selama menjalani masa pembinaan di Lapas memiliki hak-hak yang dijamin dalam Pasal 14 Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai berikut:
Melihat pada poin nomor 9, poin nomor 10, dan poin nomor 12 di atas, program dalam Lapas itu lah yang dapat menjadi program bagi para warga binaan seperti narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebelum dikembalikan ke masyarakat.
Remisi, Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat memiliki arti sebagai berikut:
Persyaratan-persayaratan untuk dapat diberikan program pemasyarakatan di atas kepada anak pidana dan narapidana lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dengan sebagai berikut:
Terdapat aturan khusus pemberian remisi bagi narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, korupsi, kejahatan pengedaran narkotika, serta kejatahan transnasional terorganisasi lainnya, yaitu:
Ada pun persyaratan tambahan diberikannya asimilasi selain harus memenuhi persyaratan yang telah disebutkan di atas bagi narapidana yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 34A ayat (1) yaitu:
Asimilasi tidak serta merta dapat diberikan karena harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan di atas. Apabila persyaratan asimilasi yang diatur dalam Pasal 36, Pasal 36A, dan Pasal 38A dilanggar maka akan menimbulkan konsekuensi: (Pasal 39)
Selain harus memenuhi persyaratan yang telah disebutkan di atas ini, terkhusus narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, korupsi, kejahatan pengedaran narkotika, serta kejatahan transnasional terorganisasi lainnya harus juga memenihi persyaratan:
Penjelasan mengenai pemberlakuan program asimilasi, remisi, dan pembebasan bersyarat di atas mengalami perubahan selama masa PSBB untuk mencegah penyebaran wabah COVID-19 yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 sebagai berikut:[1]
Pro dan Kontra Pembebasan Napi Saat Pandemi COVID-19
Menyikapi pandemi COVID-19 yang menyebar dengan sangat cepat, beberapa negara di dunia langsung mengambil langkah ekstrim untuk memutus rantai penyebarannya. Untuk kebijakan mengenai tahanan, beberapa negara mengambil langkah untuk membebaskan para tahanan agar penyebaran COVID-19 dapat diminimalisir. Sebagai contoh, Iran membebaskan 85.000 napi dan 10.000 tahanan politik (tapol), Inggris dan Wales 4.000 napi, Amerika Serikat 8.000 napi, Bahrain 1.500 napi, Yunani 15.000 napi, Polandia 10.000 napi, Brazil 34.000, napi, Afghanistan 10.000 napi, Tunisia 1.420 napi, Kanada 1.000 napi, dan Prancis 5.000 napi.[2] Indonesia sendiri pada tanggal 20 April 2020 membebaskan 38.822 napi melalui program asimilasi sebanyak 36.641 orang yang terdiri dari narapidana umum 35.738 orang dan narapidana anak 903 orang dan program integrasi sebanyak 2.181 orang terdiri dari narapidana umum 2.145 orang dan narapidana anak 36 orang.[3] Sebelumnya, pada tanggal 11 April 2020, Kemenkumham tercatat telah membebaskan 36.554 narapidana lewat asimilasi dan integrasi, dari jumlah itu 33.902 orang narapidana dan 805 anak binaan bebas lewat asimilasi dan 1.808 orang narapidana dan 39 anak binaan bebas lewat integrasi.[4]
Melihat kondisi lapas di Indonesia yang mengalami overkapasitas[5], kebijakan yang diambil oleh Kementrian Hukum dan HAM terbilang sudah tepat untuk mencegah penyebaran COVID-19 di lapas karena dengan kondisi yang overkapasitas, apabila terdapat 1 orang yang positif COVID-19 atau yang menjadi carrier dari virus COVID-19, maka akan membahayakan nyawa seluruh napi dan para sipir yang bertugas di lapas. Namun, di balik langkah pencegahan tersebut, pembebasan narapidana tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan yang terjadi di lingkungan sosial.
Seperti yang terjadi di daerah Jakarta Utara seorang mantan napi asimilasi ditembak oleh polisi saat kembali melakukan pencurian dengan kekerasan[6], napi di Ternate kembali ditangkap ketika melakukan pencurian[7], dan berbagai permasalahan lainnya. Ada juga beberapa napi yang menolak untuk mendapatkan asimilasi dan pembebasan bersyarat karena tidak memiliki rumah dan keluarga.[8] Permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan tadi tidak hanya berhenti sampai disitu namun akan terus terjadi selama tidak adanya pengawasan yang efektif dari pemerintah terhadap para mantan narapidana.
Pembebasan narapidana yang menimbulkan berbagai permasalahan yang telah disebutkan tadi tidak serta merta dapat dijadikan sebagai dasar untuk menilai bahwa pembebasan narapidana merupakan kebijakan yang keliru. Pada titik inilah arti dari pembebasan narapidana harus dikembalikan kepada landasan berpikir paling awal.
Membaca Pasal 28H ayat 3 UUD Negara Republik 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Dari bunyi pasal tersebut secara tersirat narapidana memiliki hak jaminan sosial yang wajib dipenuhi ketika narapidana telah menjalani masa pidana di Lapas atau telah dikembalikan kepada masyarakat. Dikembalikan ke masyarakat berarti mantan narapidana dapat diterima kembali di masyarakat tanpa terstigma dan menerima perlakuan diskriminatif. Menghilangkan stigma dan pandangan buruk masyarakat atas mantan narapidana merupakan hal sulit dilakukan untuk memenuhi hak jaminan sosial mantan narapidana. Lembaga Pemasyrakatan (Lapas) merupakan istilah yang diganti oleh Dr. Sahardjo dengan tujuan untuk menghilangkan stigma penjara itu buruk dan mantan narapidana tetap jahat bahkan ketika keluar dari lapas. Pada umumnya, masyarakat tidak mau menerima kehadiran mantan narapidana kembali ke lingkungannya karena penyebabnya:[9]
Pandangan-pandangan keliru mengenai narapidana perlu kiranya diluruskan mulai dengan melihat pembinaan yang dilakukan terhadap warga binaan masyarakat yang didasarkan pada teori pemidanaan. Menurut Muladi, secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:[10]
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.[11] Herbert mempunyai jalan pikiran bahwa apabila orang melakukan kejahatan berarti ia menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat. Dalam hal terjadi kejahatan maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana, sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi.
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Teori tujuan memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan ketertiban masyarakat.
Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, dapat menimbulkan aliran ketiga yang mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun pada semua unsur yang ada.
Indonesia dalam pemidanaan menganut teori gabungan. Di dalam melakukan pemidanaan dengan hukuman penjara memiliki tujuan untuk mewujudkan teori pemidanaan tersebut. Tujuan pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana, karena dihilangkan kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna.[12]
Penutup
Tulisan ini tidak mencoba untuk memberikan penilaian yang bersifat hitam-putih atas kebijakan yang diambil oleh Pemerintah yang melalui Kementrian Hukum dan HAM membebaskan para narapidana melalui asimilasi, integrasi, dan pembebasan bersyarat untuk mencegah penyebaran wabah COVID-19 di Lapas dan kondisi yang terjadi setelah pembebasan tersebut dilakukan. Singkatnya, dari pemaparan di atas, kondisi-kondisi yang mana para mantan narapidana yang dibebaskan selama masa pandemi COVID-19 dapat diminimalisir dengan adanya pengawasan yang berkelanjutan dari Pemerintah. Pembebasan para narapidana selama masa pandemi merupakan langkah mitigasi dari Pemerintah untuk mencegah bertambahnya korban jatuh akibat wabah COVID-19 juga kiranya perlu dipandang sebagai langkah yang tepat.
Daftar Pustaka
Website
https://news.detik.com/berita/d-4983364/per-20-april-ditjen-pas-bebaskan-38822-napi-gegara-corona
Jurnal
Jufri, Ely Alawiyah. Pelaksanaan Asimilasi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta. ADIL: Jurnal Hukum. Vol. 8 / No. 1
Buku
Ginting, Miko S. Ginting dkk. 2018. Analisis & Proyeksi Implikasi Rancangan KUHP Terhadap Kondisi dan Kebijakan Pemasyarakatan. Institute for Criminal Justice Reform. Jakarta
[1] https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-pas/syarat-pemberian-asimilasi-dan-hak-integrasi-bagi-narapidana-dan-anak-didik-dalam-rangka-pencegahan-dan-penanggulangan-penyebaran-covid-19 dikutip pada 20 April 2020 pada pukul 15.33 WIB
[2] Data ini dijabarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly melalui keterangan resmi yang diterima oleh media CNN. Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200416152520-20-494204/yasonna-pembebasan-napi-saat-corona-rekomendasi-pbb pada tanggal 20 April 2020 pada pukul 16.40 WIB
[3] https://news.detik.com/berita/d-4983364/per-20-april-ditjen-pas-bebaskan-38822-napi-gegara-corona diakses pada tanggal 20 April 2020 pada pukul 16.50 WIB
[4] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200416152520-20-494204/yasonna-pembebasan-napi-saat-corona-rekomendasi-pbb diakses pada tanggal 20 April 2020 pada pukul 16.55 WIB
[5] Dicatatkan oleh Institute for Criminal Justice Reform bahwa pada Februari 2018 jumlah napi yang menghuni Pemasyarakatan (Rutan/Lapas) mencapai 233.857 orang, sedangkan jumlah kapasitas yang tersedia adalah sebesar 124.117 orang. Apabila dihitung maka selisih antara penghuni dengan jumlah kapasitas Rutan/Lapas sebesar 109.740 orang. Secara presentase, jumlah itu mencapai 88% dari total kapasitas. Lebih lanjut dapat dilihat dalam Miko S. Ginting dkk., Analisis & Proyeksi Implikasi Rancangan KUHP Terhadap Kondisi dan Kebijakan Pemasyarakatan, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2018), hlm 37
[6] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200419121653-12-494988/eks-napi-asimilasi-corona-ditembak-mati-usai-mencuri diakses pada 20 April 2020 pada pukul 21.37 WIB
[7] Lihat di https://regional.kompas.com/read/2020/04/14/05550471/baru-bebas-berkat-asimilasi-corona-napi-ini-ditangkap-karena-mencuri diakses pada 20 April 2020 pada pukul 21.40 WIB
[8] Lihat https://samarinda.kompas.com/read/2020/04/13/18044381/tolak-asimilasi-corona-karena-tak-punya-rumah-dan-keluarga-napi-di-rutan?page=all diakses pada 20 April 2020 pada pukul 22.04 WIB
[9] Ely Alawiyah Jufri, “Pelaksanaan Asimilasi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta”, ADIL: Jurnal Hukum, Vol. 8 / No. 1, hlm 24
[10] Pendapat Muladi dalam Ibid, hlm 5
[11] Pendapat Muladi dan Barda dalam Ibid
[12] Pendapat R. Achmad Soemadipraja dan Romli Atmasasmita dalam Ibid, hlm 15